Pasar buku digital memang belum sebesar buku konvensional. Walau demikian tren penggunaan buku digital semakin besar. Hasil survei yang dilakukan oleh Gramedia Digital pada 2019 mengungkapkan jika sebanyak 85% dari total responden media digital memilih e-book sebagai media digital yang paling banyak digunakan. Menyusul kemudian livestreaming dan e-magazine.
Salah satu
isu yang paling mencuat dari penyebaran ebook adalah persoalan copyright.
Beragam pendekatan dilakukan untuk memecahkan hal ini baik pendekatan hukum
maupun pendekatan teknologi. Salah satu pendekatan teknologi yang ditawarkan yaitu
penggunaan blockchain. Teknologi blockchain dianggap menjadi salah satu jalan untuk menjawab
persoalan hak cipta dalam industri penerbitan di ruang digital.
Karena
sifatnya yang tidak terpusat, maka tidak ada seorang pun atau satu lembaga pun
yang bisa memegang kendali. Kodenya tersebar pada ribuan perangkat yang saling
terkoneksi. Sifat lain dari blockchain adalah transparan serta sistem audit
yang lebih baik.
Lahirnya
Blockchain dan NFT
Secara
sederhana blockchain adalah teknologi bank data digital yang saling terhubung
dan bisa digunakan untuk mengeksekusi sebuah transaksi. Investopedia
menerjemahkan blockchain sebagai sebuah pusat data terdistribusi yang dibagikan
pada setiap titik yang ada pada jaringan komputer.
Kita bisa
mengandaikan blockchain sebagai sebuah buku tempat kita mencatat “transaksi”. Menariknya,
“buku besar” ini tidak dapat dimodifikasi dan tidak dapat dirusak. Sekali
transaksi tercatat di blockchain maka ia akan selalu ada di sana.
Pengunaan
blockchain pada awalnya selalu dilekatkan dengan cryptocurrency yaitu
bitcoin. Karena memang Blockchain
mulanya digunakan pada bitcoin yang dikembangkan pada tahun 2009 oleh Satoshi
Nakamoto. Walaupun sejatinya wacana bitcoin telah ada sejak tahun 1991 saat Stuart
Haber and W. Scott Stornetta menerbitkan jurnal dengan judul Journal of
Cryptography: How to Time-Stamp a Digital Document.
Perkembangan
selanjutnya dari blockchain adalah NFT atau non fungible token atau biasa
disebut sebagai token digital. Penggunaan NFT mulai populer pertama kali pada
tahun 2017, saat game NFT pertama CryptoKitties mulai diluncurkan memanfaatkan
blockchain ethereum.
Prinsip NFT
yang memanfaatkan blockchain sebenarnya mirip dengan mata uang kripto seperti bitcoin. Bedanya, NFT tidak bisa saling
dipertukarkan, melainkan hanya bisa diperjual belikan. Dari game, lukisan
hingga foto banyak dijual sebagai NFT, hingga kemudian ebook mulai diperdagangkan
sebagai NFT.
Ebook sebagai
NFT
Perusahaan yang telah menggunakan teknologi blockchain dalam
dunia penerbitan misalnya Publica. Perusahan ini disebut
sebagai perusahaan pertama yang mengaplikasikan penggunaan blockchain dalam
industri publishing.
Publica merupakan
platform yang menjadikan ebook sebagai NFT. Teknologi NFT memungkinkan kreator
memproteksi kekayaan intelektual karya merek dari pencurian dan pembajakaan.
Secara sederhana, penulis atau pembuat konten mengunggah buku atau konten
literasinya dan akan segera diubah menjadi token. Pembeli bisa membeli buku
tersebut melalui katalog Publica dan mengaksesnya melalui aplikasi e-reader.
Pembeli buku tersebut, juga bisa menjualnya kembali melalui Publica dan
memindahkan hak kepemilikannya kepada pembeli lain.
Platform
lainnya adalah Bookchain.ca yang dikelola oleh Scenarex sebuah perusahaan teknologi asal Kanada. Bookchain
memungkinkan seseorang mempublikasikan dan mendistribusikan kontennya menjadi
sebuah NFT (Non-fungible tokens).
Berbasis
jaringan ethereum, Bookchain merupakan platform distribusi ebook online.
Platform ini menggunakan smart contract yang memungkinkan pengguna menggunggah
ebook mereka dan mengatur konfigurasi keamanan, keterlacakan, atribusi hak dan
pengaturan distribusi, serta memperkenalkan fitur opsional penjualan kembali.
Dalam
sebuah wawancara yang dimuat di Thecreativepenn.com, Simon-Pierre
Marion, CEO dan founder Scenarex mengungkapkan bahwa blockchain bahkan menjadi pencatat yang lebih
baik dibandingkan sistem pencatatan perbukuan selama ini yang disebut ISBN,
atau kalau pun tidak menggantikan ISBN karena ISBN dibutuhkan di buku fisik,
tetapi akan menjadi pelengkap ISBN.
Selain
mengenai isu hak cipta, blockchain juga dikaitkan dengan kemampuan mmembuat
smart contract atau kontrak pintar. Maka tidak ada lagi penerbit yang akan
mencurangi penulis karena kontraknya dibuat secara otomatis.
Tentu saja
dibutuhkan waktu yang masih sedikit lebih lama untuk melihat perkembangan blockchain
dalam industri penerbitan di Indonesia. Mengingat, NFT dan juga ebook di
Indonesia masih sedang dalam masa yang sangat awal. Tetapi dengan kecepatan
perubahan yang terjadi di dunia digital, bukan tidak mungkin hasilnya akan terlihat
kurang dari 5 tahun ke depan.